MAKALAH TENTANG KAIDAH USUL Al-‘Adatu Muhakkamah
KATA PENGANTAR
Tiada
kata terindah yang terucap selain kata syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan nikmat karunia-Nya yang tiada terkira yang memberikan nikmat sehat,
waktu luang serta nikmat-nikmat yang lain yang tidak sanggup apabila kita menghitungnya.
Shalawat serta Salam semoga tetap terlimpahkan pada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita kepada jalan yang terang benderang
penuh dengan Nur Iman dan Dinnul Islam.
Bukanlah
hal yang mudah bagi kami untuk menyelesaikan makalah
ini. Yang berjudul: Al-‘Adatu Muhakkamah Namun berkat rahmat Allah SWT dan batuan serta
dorongan dari berbagai pihak akhirnya karya ilmiah ini
dapat kami susun. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Selanjutnya
kami juga mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada dosen pembimbing serta
teman-teman sekalian yang telah membantu memberi masukan dan arahan dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Samalanga, Juni 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ......................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah ..................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah......................................... 3
B.
Dasar Hukum Kaidah Al-‘Adah
Al-Muhakkamah..................................... 5
C.
Cabang Kaidah Al-‘Adah
Al-Muhakkamah............................................... 6
D.
Perbedaan antara Al-’Adah
dengan Al-’Urf.............................................. 9
E.
Kedudukan ‘Adah Dan ‘Urf Dalam Pandangan Fuqaha’......................... 11
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu
hukum kully (menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa
kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasan dalam makalah ini yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat atau
kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil
dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan
nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah
fiqih kita akan mengetahui segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam
menerapkan hukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang
seringkali berubah-ubah.
Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di
dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya
budaya (adat atau kebiasaan ) serta lebih mudah mencari solusi terhadap
masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Didasari
itulah pemakalah merasa tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah fiqih
khususnya berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita
jumpai yaitu tentang adat (kebiasaan) dengan
kaidah, al-‘adah al-muhakkamah dengan
arti adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum.
Dalam makalah ini akan dikaji mengenai pengertian Al-‘Aadah, dasar-dasar hukum, cabang kaidah al-a’aadah muhkamah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian
dari al-‘aadah
2. Bagaimana apa dasar-dasar
hukum al-‘aadah
3. Bagaimana apa
saja cabang kaidah al-‘adah
al-muhakkamah
4. Bagaimana apa perbedaan
al- ‘adah dengan al-‘Urf
5. Bagaimana
kedudukan ‘adah dan ‘Urf dalam pandangan fuqaha’
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian
dari al-‘aadah
2. Untuk mengetahui bagaimana
apa dasar-dasar hukum al-‘aadah
3. Untuk mengetahui bagaimana apa
saja cabang kaidah al-‘adah
al-muhakkamah
4. Untuk mengetahui bagaimana apa
perbedaan al- ‘adah dengan al-‘Urf
5. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan
‘adah dan ‘Urf dalam pandangan fuqaha’
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“’Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan,
adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari
syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada
dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh
nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga
mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan
nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat
meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka
sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah
yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan
sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai
pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional,
sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’.[1]
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau
al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ).
Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa
diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum
dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah
menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من
العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang
berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah
lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan,
ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi
tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara
istilah yaitu:
العرف هو ما تعا رف عليه الناس
واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf
adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya
dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum".
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam
menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam
memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.[2] Jadi
maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat
menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama
oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum
ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan
dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah
adat.
Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena
suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan
syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan
dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya
orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah
mahdah
B.
Dasar Hukum
Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah
Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ
عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta
berpalinglah dari orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
“Tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan”.(QS.Al-Baqarah: 236).
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
“Apa yang dipandang baik oleh
orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang
buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang
buruk” (HR.
Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).[4]
C. Cabang Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah
1. المعرف و عرفا كالمشروط شرطا
“المعرف
و عرفا كالمشروط شرطا”
“Sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang di syaratkan dengan
suatu syarat”.
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti suatu
syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan, dan sesuatu yang
telah dikenal (masyhur) secara ‘urf (adat) dalam sebuah komunitas masyarakat
adalah menempati posisi (hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang disyaratkan
(disebutkan dengan jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam sebuah akad
(tsansaksi) atau ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan (dihukumi) ada,
sebagaimana sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akad haruslah ada
atau dilakukan. Namun dengan syarat sesuatu yang makruf atau masyhur itu tidak
bertentangan dengan syariat Islam.[5]
Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun
rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong
royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila
sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang
kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu, tidak mensyaratkan
apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia
mendapat bayaran. Contoh selanjutnya yaitu kasus menjual buah dipohon, menurut
qiyas, hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas
(majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengan
masyarakat , maka ulama membolehkannya.[6]
2. المعروف بين التّجّار كالمشروط
بينهم “المعروف بين التّجّار كالمشروط
بينهم”
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di
antara mereka”
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di
antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.[7] Kaidah ini
lebih mengkhususkan adat atau ‘urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang
saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah al-adah
muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu yang sudah umum
(biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi (status hukum) sesuatu
ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara
mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam sebuah akad atau
ucapan. Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi antara
sesama pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli,
selama terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Adapun
contoh aplikasi kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk
menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang
dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan
pembeli seperti biaya pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia
adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam akad pembelian
meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos) pengiriman, maka hukumnya
tetap ada dan menjadi tanggungjawab penjual.
Sedangkan contoh aplikasi kaidah ini,
diantara sesama pedagang adalah misalnya seorang pedagang kehabisan satu jenis
barang dagangannya, padahal saat itu ada pembeli yang membutuhkan, maka
biasanya pedagang itu akan mengambil (membeli) barang tersebut dari temannya
sesama pedagang. Lalu apakah pedagang itu membeli dari temannya dengan harga
pokok (harga kulakan) saja atau dengan harga laba yang dibagi dua antara dia
dan temannya? Maka hal ini harus dikembalikan kepada kebiasaan yang terdapat
diantara mereka, sehingga jika memang adatnya hanya dengan harga pokok, maka
dia boleh membayar harga pokoknya saja, walaupun saat ini membeli tidak
menyebutkan berapa harga barang tersebut.[8]
3. التعيين بالمعرف
كالتعيين بالنّص “التعيين بالمعرف كالتعيين بالنص”
“Yang
sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama halnya dengan yang sudah tetap
berdasarkan nash”.
Redaksi
kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda, namun arti dan maksudnya
tetap sama, yaitu kata ta’yin (ketentuan) diganti dengan kata thabit (ketetapan),
sehingga berbunyi al-thabit bi al-‘urf ka al-thabit bi al-nas. Maksud kaidah
ini tidak jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih
memperkuat aspek legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan pada
adat (tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan legalitas
hukumnya dengan nash syariat.
Alhasil,
sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu sama seperti ketentuan hukum atas
dasar nash syariat Islam. Sehinggga tidak ada alasan bagi siapapun untuk
menolaknya, terlebih jika telah diputuskan hakim dalam sebuah sengketa misalnya
perdata. Kaidah ini mirip atau seperti dengan kaidah Tasbitu
al-Ma’ruf berikut:
ا لتّا بت با لمعروف كا لتّا بت
با لنّصّ
Contoh dari kaidah ini yaitu dalam adat minangkabau
tentang hubungan kekerabatan, yaitu matrilenial, artinya: keturunan itu hanya
dihitung menurut gasis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan
anaknya harus diam dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun
demikian pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh suami. Dalam hal ini Islam
bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun
hadits. Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi
orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan
perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang
punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.[10]
D. Perbedaan antara Al-’Adah dengan Al-’Urf
Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari
pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan
tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki
wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf
(haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama
kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf
dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya
penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan
dengan konsekuensi hukum yang berbeda. Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya
berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak
orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun
nilai-nilai budaya. Dari
pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan
urgen, selama dilakukan secara kolektif,
dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai
tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu
maupun kolektif.[11]
Dari pengertian tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah
dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda,
yaitu:
1. ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan
harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi
pelakunya.
2. ‘adah
hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok,
serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan persamaannya,
‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat,
tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuai dengan karakter pelakunya. Maka, dapat disimpulkan bahwa
istilah adat dan al-’Urf memang
berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah
adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping
itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus dijalani oleh
komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan
al-’Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. Persamaannya,
adat dan al-’Urf adalah sebuah
pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan
berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab,
al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf.
Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf yang sering disebut dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf
ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).[12]
E. Kedudukan ‘Adah Dan ‘Urf Dalam Pandangan Fuqaha’
Untuk mengetahui masalah kedudukan ‘adah atau ‘urf
sebagai salah satu patokan hukum, fuqohah’beragam pendapat dalam memeganginya
sebagai dalil hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Abu
Hanifah : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf masyarakat.
b. Imam Malik
: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishhab, maslahah mursalah,
syadduzdharai’ dan ‘urf.
c. Malikiyyah,
membagi ‘adah kebiasaan atau ‘urf menjadi tiga, yaitu:
1. Yang dapat
ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan,
2. Jika
mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau mengabaikan syara’.
3. Yang tidak
dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran tidak ada larangan.
d. Imam
Syafi’i tidak mempergunakan ‘urf atau ‘adah sebagai dalil, karena beliau
berpegang pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan ijtihad yang hanya dibatasi dengan
qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah diambil oleh imam syafi’i dalam
wujud “qaul jadid” itu merupakan suatu imbangan terhadap penetapan hukumnya di
bagdad dalam wujud “qaul qadim’.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang
berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah
adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya
melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun
kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu.
Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih
menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah
sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan
berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan
pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa
hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu
akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Tamrin, Dahlan. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah
al-Khamsah). 2010. Malang: UIN Maliki Press.
Arfan, Abbas. Kaidah-kaidah Fiqh
Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah.2012.Jakarta:
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI.
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih
(Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis).2007.Jakarta:
Kencana.
Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah
Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah).2002.Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh (Sejarah
dan Kaidah-Kaidah Asasi).2002.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[1]Dahlan,
Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang:
UIN Maliki Press,2010). h. 203.
[2]Abbas,
Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam
dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012). h. 204.
[3]Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah
Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2002). h. 210.
[5]A,
Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007). h. 86.
[7]Jaih, Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah
dan Kaidah-Kaidah Asasi),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). h. 157.
[8]Abbas,
Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah… h. 221.
Komentar
Posting Komentar